UNIVERSITAS GUNADARMA
PROGRAM DIPLOMA III BISNIS KEWIRAUSAHAAN
MAKALAH EKONOMI KOPRASI
PERANAN EKONOMI KERAKYATAN SEBAGAI LANDASAN PEREKONOMIAN INDONESIA
NAMA : FLAWEREDA. RAHIMAHULLAH
KELAS : 3DD04
NPM : 30209719
PELAJARAN : EKONOMI KOPRASI
DOSEN : IRFAN ARDIANSYAH
PENDAHULUAN
Kata Ekonomi Kerakyatan sebagai Komoditas Politik
Akhir-akhir ini, menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2009 kata ekonomi kerakyatan menjadi sangat populer. Semua calon presiden yang telah mendeklarasikan diri mengusung ekonomi kerakyatan sebagai dasar pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tidak hanya sampai disitu, masing-masing calon saling menuding bahwa lawan politiknya menganut mashab ekonomi neo liberal. Namun sayang, masing-masing calon presiden tidak ada yang menjelaskan secara konkrit mengenai visi dan misi pembangunan ekonomi yang berlandaskan ekonomi kerakyatan. Ditengah-tengah riuhnya setiap orang menyuarakan ekonomi kerakyatan arti kata ekonomi kerakyatan sendiri sempat tidak tersentuh. Hal ini menandakan bahwa kata ekonomi kerakyatan hanya menjadi komoditas politik untuk menarik simpati masyarakat.
Akhir-akhir ini, menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2009 kata ekonomi kerakyatan menjadi sangat populer. Semua calon presiden yang telah mendeklarasikan diri mengusung ekonomi kerakyatan sebagai dasar pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tidak hanya sampai disitu, masing-masing calon saling menuding bahwa lawan politiknya menganut mashab ekonomi neo liberal. Namun sayang, masing-masing calon presiden tidak ada yang menjelaskan secara konkrit mengenai visi dan misi pembangunan ekonomi yang berlandaskan ekonomi kerakyatan. Ditengah-tengah riuhnya setiap orang menyuarakan ekonomi kerakyatan arti kata ekonomi kerakyatan sendiri sempat tidak tersentuh. Hal ini menandakan bahwa kata ekonomi kerakyatan hanya menjadi komoditas politik untuk menarik simpati masyarakat.
PEMBAHASAN
Pengertian Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi Kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasisi pada kekuatan rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 UUD 45 dan sila ke empat Pancasila (Bob,2003). Didalam Ekonomi Kerakyatan setiap masyarakat berpartisipasi baik dalam penentuan kebijakan atau dalam kegiatan ekonomi sesuai dengan peranannya masing-masing, tanpa menutup atau menghalangi kesempatan masyarakat untuk maju dalam bidang perekonomian dengan memperhatikan pemerataan sebagai tujuan utama pembangunan.
Ekonomi Kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasisi pada kekuatan rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 UUD 45 dan sila ke empat Pancasila (Bob,2003). Didalam Ekonomi Kerakyatan setiap masyarakat berpartisipasi baik dalam penentuan kebijakan atau dalam kegiatan ekonomi sesuai dengan peranannya masing-masing, tanpa menutup atau menghalangi kesempatan masyarakat untuk maju dalam bidang perekonomian dengan memperhatikan pemerataan sebagai tujuan utama pembangunan.
Untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan pemerintah berhak atas penguasaan sektor-sektor penting yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah berperan sebagai penyelenggra perekonomian dengan tugas utama mendistriubusikan sumber daya ekonomi dan menjaga atas ketersediaan prasarana kebutuhan pokok produksi barang dan jasa. Dalam ekonomi kerakyatan masyarakat berhak atas pendapatan dari hasil produksinya tanpa mengesampingkan azas kekeluargaan.
Pergulatan ekonomi kerakyatan sebagai dasar pembangunan ekonomi telah memakan waktu yang panjang. Pergulatan ekonomi kerakyatan didalam pemerintahan meliputi implementasi dalam pembangunan ekonomi sampai pada pergulatan pemikiran ekonomi para akademisi. Berbagai pergulatan mengenai implementasi ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi nasional dan perhelatan para pemikir ekonomi telah menjadi dinamika yang mengiringi sejarah bangsa Indonesia.
Dinamika Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi kerakyatan tidak bisa lepas dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Konsep ekonomi kerakyatan sudah diperkenalkan sejak masa pra kemerdekaan. Semangat ekonomi kerakyatan menjadi simbol rakyat Indonesia dalam memperjuangkan keadilan. Dinamika ekonomi kerakyatan dalam tataran sejarah dapat dibagi menjadi tiga periode sebagai berikut:
v Periode Pra Kemerdekaan.
Pada tanggal 20 November 1933 Bung Hatta menulis artikel dengan judul Ekonomi Rakyat. Dalam artikel tersebut Bung Hatta mengungkapkan kegusarannya menyaksikan kondisi ekonomi Indonesia dibawah penjajahan Hindia Belanda. Konsep ekonomi rakyat dibentuk oleh Bung Hatta sebagai tandingan atas ekonomi kolonial. Yang dimaksud ekonomi rakyat ketika itu adalah ekonomi kaum pribumi atau kaum penduduk asli Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka Bung Hatta sudah mendalami konsep ekonomi kerakyatan. Bung Hatta mempelajari keberadaan koperasi di Eropa (Denmark, Swiss). Bung Hatta percaya bahwa koperasi merupakan kegiatan ekonomi yang dapat mewujudkan gagasan ekonomi rakyat dan sesuai dengan kultur masyarakat. Para pendiri bangsa sudah menggagas konsep eknomi jauh sebelum Indonesia merdeka.
v Masa Pemerintahan Orde Lama
Orde Lama menjadi masa pemerintahan yang paling setia dengan konsep ekonomi rakyat sebagai dasar pembangunan ekonomi. Setelah merdeka gagasan ekonomi rakyat menjadi dasar perekonomian Indonesia. Sukarno-Hatta menjadi motor penggerak pelaksanaan ekonomi rakyat dalam pembangunan. Funding father menjadikan ekonomi rakyat sebagai dasar perekonomian Indonesia melalui pasal 33 ayat 1 UUD 45. Bung Hatta memperkenalkan koperasi sebagai implementasi dari konsep ekonomi rakyat yang digagasnya sebelum Indonesia merdeka. Gagasan ekonomi Sukarno setelah Indonesia merdeka lebih bersifat setrategis. Ekonomi Berdikari adalah suatu gagasa kemandirian ekonomi tanpa bantuan dari pihak asing. Sukarno-Hatta percaya bahwa landasan perekonomian Indonesia adalah Ekonomi Rakyat. Gagasan strategis Sukarno dan intelekualitas Hatta adalah perpaduan sempurna dalam rangka menegakkan Ekonomi Rakyat pada masa awal berdirinya pemerintahan Indonesia.
v Masa Pemerintahan Orde Baru
Retorika politik yang membawa Indonesia pada rezim Orde Baru berdampak besar terhadap keberadaan Ekonomi Rakyat yang telah digagas oleh Sukarno-Hatta. Pada masa awal Orde Baru istilah Ekonomi Kerakyatan diperkenalkan oleh Prof. Sarbini Sumawiyata. Gagasan ekonomi kerakyatan yang ditulis oleh Prof. Sarbini Sumawiyata tidak terlepas dari gagasan ekonomi rakyat yang pertama kali diperkenalkan oleh Bung Hatta. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru Prof. Sarbini Sumawiyata menjadi satu-satunya orang yang tetap setia pada gagasan ekonomi rakyat ditengah maraknya penganut paham ekonomi neoliberal. Pada pertengahan masa orde Baru sekitar tahun 1980-an, guru besar ekonomi UGM mengobarkan kembali semangat ekonomi kerakyatan dengan label Ekonomi Pancasila.
Dinamika Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi kerakyatan tidak bisa lepas dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Konsep ekonomi kerakyatan sudah diperkenalkan sejak masa pra kemerdekaan. Semangat ekonomi kerakyatan menjadi simbol rakyat Indonesia dalam memperjuangkan keadilan. Dinamika ekonomi kerakyatan dalam tataran sejarah dapat dibagi menjadi tiga periode sebagai berikut:
v Periode Pra Kemerdekaan.
Pada tanggal 20 November 1933 Bung Hatta menulis artikel dengan judul Ekonomi Rakyat. Dalam artikel tersebut Bung Hatta mengungkapkan kegusarannya menyaksikan kondisi ekonomi Indonesia dibawah penjajahan Hindia Belanda. Konsep ekonomi rakyat dibentuk oleh Bung Hatta sebagai tandingan atas ekonomi kolonial. Yang dimaksud ekonomi rakyat ketika itu adalah ekonomi kaum pribumi atau kaum penduduk asli Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka Bung Hatta sudah mendalami konsep ekonomi kerakyatan. Bung Hatta mempelajari keberadaan koperasi di Eropa (Denmark, Swiss). Bung Hatta percaya bahwa koperasi merupakan kegiatan ekonomi yang dapat mewujudkan gagasan ekonomi rakyat dan sesuai dengan kultur masyarakat. Para pendiri bangsa sudah menggagas konsep eknomi jauh sebelum Indonesia merdeka.
v Masa Pemerintahan Orde Lama
Orde Lama menjadi masa pemerintahan yang paling setia dengan konsep ekonomi rakyat sebagai dasar pembangunan ekonomi. Setelah merdeka gagasan ekonomi rakyat menjadi dasar perekonomian Indonesia. Sukarno-Hatta menjadi motor penggerak pelaksanaan ekonomi rakyat dalam pembangunan. Funding father menjadikan ekonomi rakyat sebagai dasar perekonomian Indonesia melalui pasal 33 ayat 1 UUD 45. Bung Hatta memperkenalkan koperasi sebagai implementasi dari konsep ekonomi rakyat yang digagasnya sebelum Indonesia merdeka. Gagasan ekonomi Sukarno setelah Indonesia merdeka lebih bersifat setrategis. Ekonomi Berdikari adalah suatu gagasa kemandirian ekonomi tanpa bantuan dari pihak asing. Sukarno-Hatta percaya bahwa landasan perekonomian Indonesia adalah Ekonomi Rakyat. Gagasan strategis Sukarno dan intelekualitas Hatta adalah perpaduan sempurna dalam rangka menegakkan Ekonomi Rakyat pada masa awal berdirinya pemerintahan Indonesia.
v Masa Pemerintahan Orde Baru
Retorika politik yang membawa Indonesia pada rezim Orde Baru berdampak besar terhadap keberadaan Ekonomi Rakyat yang telah digagas oleh Sukarno-Hatta. Pada masa awal Orde Baru istilah Ekonomi Kerakyatan diperkenalkan oleh Prof. Sarbini Sumawiyata. Gagasan ekonomi kerakyatan yang ditulis oleh Prof. Sarbini Sumawiyata tidak terlepas dari gagasan ekonomi rakyat yang pertama kali diperkenalkan oleh Bung Hatta. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru Prof. Sarbini Sumawiyata menjadi satu-satunya orang yang tetap setia pada gagasan ekonomi rakyat ditengah maraknya penganut paham ekonomi neoliberal. Pada pertengahan masa orde Baru sekitar tahun 1980-an, guru besar ekonomi UGM mengobarkan kembali semangat ekonomi kerakyatan dengan label Ekonomi Pancasila.
Semangat ekonomi kerakyatan selalu mucul pada masa transisi. Hal ini tidak terlepas dari dua aspek pokok gagasan ekonomi rakyat Bung Hatta yaitu trasnformasi ekonomi dan transformasi sosial. Transformasi ekonomi dalam ekonomi kerakyatan adalah mendorong kegiatan ekonomi masyarakat sehingga pendapatan masyarakat meningkat. Seluruh masyarakat dipacu untuk lebih produktif sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat. Transformasi sosial dalam ekonomi kerakyatan adalah melakukan perubahan dengan menciptakan kegiatan ekonomi secara adil dimana para pelaku ekonomi bawah tidak ditekan oleh kekuatan pasar.
Kemunculan Kembali Ekonomi Kerakyatan
Dinamika ekonomi kerakyatan tidak terlepas dari perjalanan politik bangsa. Sekarang wacana kembali pada gagasan ekonomi rakyat menyeruak. Faktor yang mendorong kembali ke ekonomi kerakyatan adalah:
1. kegagalan negara-negara kapitalis dengan sistem ekonomi neoliberal yang menyebabkan krisis finansial global, dan
2. tuntutan untuk membangun perekonomian yang lebih adil dan merata yang tidak memarjinalkan suku, daerah dan kelompok masyarakat yang tidak mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup.
Kemunculan Kembali Ekonomi Kerakyatan
Dinamika ekonomi kerakyatan tidak terlepas dari perjalanan politik bangsa. Sekarang wacana kembali pada gagasan ekonomi rakyat menyeruak. Faktor yang mendorong kembali ke ekonomi kerakyatan adalah:
1. kegagalan negara-negara kapitalis dengan sistem ekonomi neoliberal yang menyebabkan krisis finansial global, dan
2. tuntutan untuk membangun perekonomian yang lebih adil dan merata yang tidak memarjinalkan suku, daerah dan kelompok masyarakat yang tidak mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup.
Seiring dengan proses transisi bangsa ini yang sepertinya belum juga menemukan kembali bentuk baru pembangunan yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat, kedua faktor tersebut menjadi pemicu wacana kembali ke ekonomi kerakyatan sebagai landasan pembangunan di segala bidang.
Setelah pemerintahan Orba runtuh dan sepuluh tahun reformasi berjalan tantangan ekonomi masih sama yaitu kemandirian ekonomi. Indonesia merupakan bagian dari konstelasi ekonomi dunia. Dengan meningkatnya konvergensi ekonomi global kemandirian ekonomi suatu negara menjadi kunci utama supaya kita tidak terombang ambing oleh keadaan ekonomi yang semakin fluktuatif.
Kemandirian dalam ekonomi kerakyatan meliputi falsafah ekonomi bangsa, kebijakan ekonomi dan kemandirian atas pemenuhan kebutuhan ekonomi suatu bangsa. Kemandirian ekonomi menghadapi tantangan yang cukup berat di era abad 21. Konstelasi ekonomi dunia menciptakan hubungan langsung ekonomi suatu negara dengan negara lain. Konvergensi ekonomi global menjadikan batasan legitimasi otoritas suatu negara menjadi kabur. Pada batasan tertentu negara berhak menegakan legitimasi atas ekonomi. Dalam ekonomi kerakyatan legitimasi pemerintah diatur dalam pasal 33 ayat (1) UUD 45.
Dilihat dari institusi dan kebijakan yang dibangun pemerintah, sistem ekonomi Indonesia menganut dual system economy yaitu kapitalis dan sosialis. Untuk mencapai keseimbangan dengan tidak menghilangkan hak individu dan menjamin terjadinya pemerataan, perekonomian Indonesia harus berpegang pada satu faham yang berazaskan kerakyatan. Bagi pemerintah tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana mengembangkan konsep dan mengimplementasikan ekonomi yang berazaskan kerakyatan sebagai dasar pembangunan ekonomi ditengah perkembangan ekonomi global yang semakin kompleks. Pembangunan dapat berjalan lancar jika perekonomian suatu negara sesuai dengan jadi diri bangsa. Ekonomi kerakyatan adalah representasi masyarakat Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Ekonomi kerakyatan tidak hanya sekedar komoditas politik yang setelah pemilu usai wacana tersebut hilang dengan sendirinya. Tidak mudah menerapkan ekonomi kerakyatan sebagai dasar pembanguan ekonomi. Keberanian dan komitmen penuh pemerintah adalah faktor kunci dalam membangun ekonomi yang berazaskan kerakyatan.
Ekonomi Kerakyatan
Di Tengah Arus Kapitalisme Global
Dalam berbagai event politik, Ekonomi Kerakyatan (seperti koperasi dan UKM) sering dibicarakan, diprogramkan dan setelah event itu usai tidak diurus lagi. Sehingga yang sebenarnya terjadi adalah menjadikan issue Ekonomi Kerakyatan sekedar sebagai ”dagangan politik” untuk menarik simpati. Secara umum, nasib Ekonomi Kerakyatan, khususnya Koperasi-UKM memang hanya menarik untuk dijadikan komoditi politik ketimbang secara serius diperjuangkan sebagai kebutuhan rakyat. Bagi (sebagian besar) politisi, perjuangan untuk menerapkan ekonomi kerakyatan secara riil di arena politik merupakan mimpi di siang bolong, karena kehidupan politik yang disemangati nilai-nilai kapitalisme saat ini justru dianggap sebagai peluang yang lebih menungutungkan ketimbang berjuang memberlakukan ekonomi kerakyatan.
Sikap pesimis, ragu dan oportunis para politisi dan penyelenggara negara terhadap Ekonomi Kerakyatan akhirnya melahirkan ambivalensi dalam memproduksi kebijakan. Pertama, secara substansial dan obyektif, mereka menerima kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang harus diberlakukan di negeri ini. Alasan ”sesuai perkembangan jaman” merupakan pertimbangan yang seringkali dirasionalisasi untuk melegitimasi aturan main yang seolah-olah merupakan penjabaran dari Konstitusi Dasar Republik ini. Kedua, melakukan formalisasi Ekonomi Kerakyatan secara institusional, dan bukan pemberlakuan sistem ekonomi nasional secara substansial. Institusionalisasi tersebut berbentuk lembaga-lembaga Koperasi dan UKM yang fungsi dan perannya sengaja dimarginalkan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi politik. Keberadaan Departemen Koperasi dan UKM, dalam konteks ini, adalah salah satu bentuk formalisasi dimaksud, sekedar supaya Pemerintah dianggap menjalankan soko guru ekonomi nasional.
Tulisan ini tidak membahas Koperasi secara khusus, melainkan akan membahas tata Ekonomi Kerakyatan dalam perspektif politik nasional yang telah dirasuki semangat kapitalistik seperti disebut di atas. Oleh karena itu, secara berurutan nanti akan dibahas apa itu Neo-liberalisme atau Kapitalisme Global baru kemudian Ekonomi Kerakyatan dan terakhir akan disinggung sedikit sejauh mana relevansi keberadaan Koperasi (sebagai bagian dari ekonomi kerakyatan) di era Globalisasi ini.
NEO LIBERALISME
Sebelum kita uraikan beberapa persoalan riil yang terkait dengan Ekonomi Kerakyatan, terlebih dahulu kita kupas apa itu ideologi Neoliberal, bagaimana perkembangannya serta apa dampak penerapannya 1). Neoliberalisme merupakan tahap lanjutan dari liberalisme yang berkembang sekitar abad 18 sampai 19 di Barat. Liberalisme asal mulanya adalah bentuk perjuangan kaum borjuis dalam menghadapi kaum konservatif atau feodal. Sehingga boleh disebut, liberalisme merupakan ideologi kaum borjuis kota. Dalam arti luas, liberalisme adalah paham yang mempertahankan otonomi individu melawan intervensi komunitas. Memang, dalam konteks definisi ada “civic liberalism” maupun liberalisme ekonomi. Dan, liberalisme ekonomi inilah yang nantinya berkembang menjadi neoliberalisme.
Pada intinya, paham ini memperjuangkan leissez faire (persaingan bebas), yakni paham yang memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Mereka lebih percaya pada kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial ketimbang melalui regulasi negara. Kata neo dalam neoliberalisme yang kita bahas ini merujuk pada bangkitnya kembali bentuk baru aliran ekonomi liberalisme lama yang dulu dibangkitkan ekonom Inggris Adam Smith dalam karyanya “The Wealth of Nations” (1776), di mana dia dan kawan-kawannya menggagas penghapusan intervensi pemerintah dalam ekonomi.
Dalam liberalisme, Pemerintah harus membebaskan mekanisme pasar bekerja, harus melakukan deregulasi dengan mengurangi restriksi (hambatan) pada proses produksi, mencabut semua rintangan birokratis perdagangan, ataupun menghilangkan tarif bagi perdagangan demi menjamin terwujudnya free trade. Perdagangan dan persaingan bebas adalah cara terbaik bagi ekonomi nasional untuk berkembang. Dengan demikian, liberalisme di sini berkonotasi “bebas dari kontrol pemerintah”, atau kebebasan inidividu untuk menjalankan persaingan bebas, termasuk kebebasan bagi kaum kapitalis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ekonomi model liberalisme inilah yang menjadi dasar bagi ekonomi Amerika pada tahun 1800-an sampai awal 1900-an. Tapi, konsep tersebut akhirnya runtuh saat bencana depresi (The Great Depression) di tahun 1930-an melanda dunia.
Ketika depresi ekonomi melanda dunia, muncul seorang ekonom Inggris yang bernama John Maynard Keynes, yang menantang paham liberal. Keynes mengembangkan gagasan alternatif bahwa pemerintah dapat dan harus melakukan intervensi dalam perekonomian, dan membangun sebuah model yang sama sekali baru. Ekonomi Keynessian yang sering disamakan dengan Welfare State (Negara Kesejahteraan, yaitu pemilikan negara atas sebagian besar industri dan pemerintahan yang intervensionis) itu mempengaruhi Presiden Roosvelt untuk melahirkan kebijakan yang dikenal dengan program “New Deal”, karena dianggap berhasil menyelamatkan rakyat Amerika waktu itu. Sejak itu pula peran pemerintah atau negara dalam ekonomi makin dapat diterima, makin menguat dan menenggelamkan paham liberalisme. Kebanyakan negara berkembang juga menganut strategi pembangunan yang didominasi oleh negara (welfare state).
Namun, krisis kapitalisme di akhir 1970-an menyebabkan semakin berkurangnya tingkat keuntungan kaum kapitalis yang berakibat pada jatuhnya akumulasi kapital mereka, sehingga meneguhkan mereka untuk kembali pada sistem liberalisme. Doktrin ekonomi Keynessian dianggap sebagai penyebab kehancuran kapitalisme waktu itu. Dimotori oleh ekonom Milton Friedman dan Friederich Hayek, mereka meyakini bahwa pasar bebas mampu memajukan ekonomi dibandingkan negara dan usaha negara dalam mengatasi kegagalan ekonomi lebih mendatangkan kerugian daripada keuntungan. Mereka ingin negara kembali pada fungsi dasarnya dengan cara melakukan deregulasi, privatisasi atau mengkontrakkan sejumlah fungsi negara 2) kepada swasta.
Melaui corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham liberalisme, bahkan dalam skala global. Paham liberalisme lama itu kini dihidupkan kembali secara global, yang dikembangkan melalui sebuah “konsensus” yang dipaksakan. Konsensu 1980-an yang dikenal dengan The Washington Consensus itu, datang dari para pembela ekonomi pasar bebas yang berasal dari wakil perusahaan-perusahaan besar Transnasional Corporations (TNC’s) atau Multi Nasional Corporations (MNC’s), Bank Dunia, IMF serta wakil negera-negara kaya. Mereka menyebut kesepakatan itu sebagai “reformasi” ekonomi dengan kebijakan pasar bebas di era global. Intinya adalah negara harus melayani dan memberi kebebasan swasta untuk memperoleh superprofit (bukan sekedar profit). Jika demokrasi politik berlangsung di tengah kesenjangan ekonomi yang tajam antara yang kaya dengan yang miskin, maka (sebagaimana teori determinisme ekonomi) yang kaya-lah yang menguasai demokrasi itu. Selanjutnya, demokrasi hanya dijadikan alat bagi kelas kaya untuk mempertahankan posisinya. Kelas miskin hanya dijadikan obyek dalam proses politik, dan seringkali menjadi obyek penindasan bagi kelas kaya. Untuk membongkar dan menghentikan penindasan kelas kaya terhadap kelas miskin, pra syarat yang harus dipenuhi adalah terciptanya demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan.
Antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi rakyat sering disalahpahami banyak orang, atau setidaknya mereka rancu memahami dan membedakan di antara keduanya. Ekonomi Kerakyatan (Demokrasi Ekonomi) adalah suatu sistem ekonomi yang menjamin keterlibatan rakyat sebagai subyek yang mengendalikan jalannya roda ekonomi negara, atau suatu sistem perekonomian yang menjamin dilakukannya “produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau kepemilikian rakyat”. Disebut juga demokrasi ekonomi, karena sistem ini mengacu pada Pasal 33 UUD 1945.
Rasanya tidak lengkap jika membahas Ekonomi Kerakyatan tanpa membuka UUD 1945 Bab XIV tentang “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial” yang berisi Pasal 33 dan 34. Menurut Jimly Asshiddiqie 5), Bab XIV ini menggambarkan diterimanya pengaruh paham sosialisme dalam rumusan cita-cita kenegaraan kita, di samping prinsip demokrasi liberal. Hal ini berkaitan dengan diadopsinya konsep “welfare state” dalam UUD. Jika negara kapitalis menganggap kemiskinan dan perekonomian merupakan urusan pasar dan karena itu tidak perlu diurus negara (pemerintah), maka dalam konsep “welfare state” negara diharuskan bertang-gungjawab untuk mengintervensi pasar, mengurus kemiskinan, dan memelihara orang miskin. Bandingkan dengan Konstitusi negera- negara liberal seperti Amerika, yang tidak mengatur ekonomi rakyat dalam Konstitusi, mengingat hal itu merupakan mekanisme pasar yang tidak perlu diurus negara, dan karena itu tidak perlu dicantumkan dalam konstitusi.
Dalam proses perubahan UUD di MPR beberapa waktu lalu, usul pencoretan “asas kekeluargaan” dari Pasal 33 Ayat (1) sempat menimbulkan kontroversi di antara para ahli. Satu pihak ingin menghapuskan perkataan “asas” itu karena dianggap menjadi salah satu sebab tumbuh suburnya praktek-praktek penyimpangan sejak kemerdekaan dan apalagi di era Orde Baru. “Asas” tersebut terlalu abstrak maknanya sehingga perwujudannya dalam praktek mengundang penafsiran yang memberi pembenaran pada praktek KKN. Karenanya, “asas” itu sering diplesetkan dengan “family system” atau asas keluarga. Lagi pula, dalam perekonomian, asas itu sebenarnya dapat lebih tepat dikaitkan dengan prinsip-prinsip seperti efisiensi, pemerataan dan sebagainya yang pengertiannya lebih jelas dan tidak kontroversial.
Namun, kelompok lain berpendapat, idealitas konsep jangan dikacaukan dengan realitas penyimpangan dalam praktek. Banyak faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya KKN, sehingga tidak ‘fair’ untuk menjadikan ‘asas kekeluargaan’ sebagai kambing hitam. Padahal, dalam kenyataannya, asas kekeluargaan itu selama ini belum cukup didalami makna yang sebenarnya, serta belum pernah diimplementasikan dalam praktek. Lagi pula, salah satu nilai yang paling hakiki yang terkandung dalam asas kekeluargaan adalah nilai demokrasi ekonomi yang jelas-jelas mencerminkan kreasi intelektual para ‘the founding fathers’ berkenaan dengan gagasan kedaulatan rakyat.
Penghapusan ‘asas kekeluargaan’ berimplikasi pada penghapusan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Akibatnya perkembangan demokrasi Indonesia hanya akan terarah pada pengertian demokrasi politik yang didasarkan pada paham liberalisme dengan segala kelemahan, kekurangan dan distorsi di dalamnya. Padahal, ‘the founding fathers’ sejak sebelum kemerdekaan sangat mengidealkan upaya kreatif untuk mengadopsi contoh-contoh yang dapat ditarik dari paham demokrasi politik yang liberal di satu pihak, tetapi di pihak lain juga menutupi kelemahannya dengan mengadopsi pelajaran yang dapat ditarik dari paham demokrasi ekonomi yang didasarkan atas paham sosialisme.
Untuk mencari jalan tengah dalam kontroversi itu, akhirnya disepakati bahwa Pasal 33 tersebut ditambah dua ayat baru yang berbunyi (Ayat 4) “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa Ekonomi Kerakyatan lebih merujuk pada sistem perekonomian yang secara konstitusional (seharusnya) berlaku di Indonesia. Sedang Ekonomi Rakyat adalah sektor-sektor ekonomi yang dihuni oleh pelaku ekonomi yang berukuran kecil, yang keadaannya serba terbelakang. Sektor-sektor itu di antaranya UKM, KUK, KUD, sektor pertanian rakyat, sektor perikanan rakyat, sektor transportasi rakyat, sub-sektor industri kecil dan rumah tangga, termasuk perkreditan rakyat. Ekonomi rakyat juga sering disebut sektor informal, karena keterbelakangannya dan dalam volume produksi yang sangat kecil serta tidak dilengkapi dengan ijin usaha secara formal.
Dalam penerapannya, Ekonomi Kerakyatan mensyaratkan adanya demokratisasi kepemilikan modal oleh rakyat secara merata tanpa kecuali 6). Demokratisasi modal itu meliputi modal material, modal intelektual dan modal institusional. Modal material tersebut di antaranya meliputi land reform pada sektor pertanian, kepemilikan saham oleh karyawan di sektor dunia usaha. Dalam hal kepemilikan modal material, negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan rakyat, tetapi negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material.
Modal intelektual meliputi pemberlakuan program wajib belajar kepada seluruh rakyat, tanpa kecuali. Konsekuensi program ini berarti negara wajib menyelenggarakan pendidikan tanpa biaya atau pendidikan gratis bagi seluruh rakyatnya. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, pendidikan bukan merupakan suatu kegiatan yang dikomersialkan.
Modal institusional berarti rakyat memiliki serikat-serikat rakyat yang menjamin adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat. Karena itu, dalam ekonomi kerakyatan ini, negara wajib menjamin eksistensi dan fungsionalisasi serikat buruh, serikat petani, serikat nelayan, serikat pedagang kaki lima, serikat pedagang asongan, serikat kaum miskin kota, dan serikat-serikat rakyat yang lain.
Untuk mendukungnya, minimal diperlukan tiga agenda yang merupakan pra sayarat bagi pelaksanan ekonomi kerakyatan, seperti agenda di sektor fiskal, yaitu adanya pembagian pendapatan (revenue sharing) antara pemerintah pusat dengan daerah, di sektor perbankkan, yaitu adanya penyelenggaraan sistem perbankkan regional, sebagai pengganti sistem perbankkan yang tersentral. Terakhir sektor hulang luar negeri, yaitu perlu adanya penyelenggaraan referendum terhadap setiap proyek pembangunan yang hendak dibiayai dengan hutang luar negeri.
Secara sederhana, Ekonomi Kerakyatan setidaknya memiliki 5 sasaran penting yang meliputi (a) tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota masyrakat, (b) tersedianya sistem jaminan social bagi rakyat yang benar-benar membutuhkan, (c) terlindungi dan terdistribusikannya kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota masyarakat, (d) terselenggarakannya pendidikan bebas biaya bagi setiap anggota masyarakat yang memerlukan, (e) terjaminnya hak setiap anggota masyrakat untuk mendirikan serikat-serikat rakyat.
Uraian di atas bisa disederhanakan bahwa inti sistem ekonomi kerakyatan adalah : (a) adanya asas kekeluargaan, yang secara essensial berarti memprioritaskan pemerataan, (b) penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan alam yang menjadi kepentingan hajat hidup masyarakat, (c) semua kekayaan alam tersebut dialokasikan untuk rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan (dalam amandemen ke empat) dijalankan melalui : (a) asas demokrasi ekonomi, (b) menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dalam konteks sekarang, ada beberapa ciri utama ekonomi kerakyatan yang harus diaktualisasikan, yaitu :
(a) Tidak boleh ada privatisasi terhadap BUMN. Untuk BUMN-BUMN yang sudah diprivatisasi (baik oleh swasta domestik, swasta asing maupun BUMN asing), maka harus segera dinasionalisasi. Alasan nasionalisasi ini lebih didasarkan pada aspek utilities BUMN sebagai asset negara yang keberadaannya untuk kepentingan umum (kepentingan hajat hidup orang banyak). Dalam sistem kapitalisme, in clude (di dalamnya) tidak ada kepentingan umum, karena tujuan utamanya adalah keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal. Karena itu, nasionalisasi ini sebatas pada mengembalikan hak milik rakyat yang telah dipindah-tangankan ke pihak lain (baik pihak swasta domestik, swasta/BUMN asing).
(b) Pemberian subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, transportasi rakyat, petani miskin, kaum miskin kota serta jaminan sosial lainnya. Kalaupun sekarang ini ada kebijakan pencabutan subsidi untuk rakyat, maka kebijakan itu harus dibatalkan.
(c) Negara memberlakukan regulasi ekonomi, untuk menghindari persaingan yang tidak seimbang antara yang kuat dengan yang lemah. Regulasi ini termasuk regulasi dalam di bidang perdagangan maupun keuangan.
(d) Dalam era perdagangan bebas, Negara wajib memberikan proteksi atau perlindungan terhadap usaha kecil, agar tidak dikalahkan oleh Multi National Corporations (MNC’s) atau Trans National Corporations (TNC’s).
(e) Pelayanan sosial untuk kehidupan orang fakir, orang miskin dan anak-anak terlantar harus diprioritaskan. Termasuk di sini adalah pelaksanaan zakat yang pengelolaannya (pengambilan maupun distribusinya) diintegrasikan dalam APBN.
Tujuan ekonomi kerakyatan adalah menciptakan kondisi ekonomi dan politik yang demokratis, dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, kalau dicermati, baik konsep maupun rencana aksi ekonomi kerakyatan ini memang bertolak belakang dengan mainstream ekonomi neoliberal yang sedang berlaku. Sehingga tidak sedikit orang yang menentang, mencibir dan meragukannya.
Orang yang menentang datang dari kalangan yang merasa dirugikan oleh ekonomi kerakyatan, yaitu para pengusaha atau pemiliki modal (kapitalis) yang menjadi pelaku ekonomi neoliberal. Kalangan ini menganggap bahwa ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi adalah sistem ekonomi sosialis. Sedang mereka yang mencibir biasanya datang dari kalangan akademisi, ilmuwan atau ekonom yang larut dalam mainstream ekonomi neoliberal atau kapitalisme global. Mereka berargumen bahwa ekonomi kerakyatan hanya jargon politik belaka, karena tidak ada dalam teori-teori (teksbook) yang mereka pelajari. Yang terakhir adalah mereka yang meragukannya. Meski menaruh simpatik terhadap gagasan ekonomi kerakyatan, tapi mereka menilai tidak realistis di tengah kuatnya arus kapitalisme global.
Sebagai sebuah sistem, ekonomi kerakyatan tidak cukup hanya didiskusikan atau dipidatokan dalam pertemuan-pertemuan akbar. Ekonomi kerakyatan pada hakekatnya adalah gerakan perlawanan, yaitu perlawanan dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam sistem ekonomi neoliberal (kaum mustadh’afin atau kaum tertindas), terhadap negara dan pemodal besar yang meminggirkan mereka. Secara lebih spesifik, gerakan perlawanan ekonomi kerakyatan menghadapi tiga kelompok mapan, yaitu
(a) “Kapitalisme busuk”/perkoncoan yang merupakan sisa-sisa Orde Baru,
(b) Kapitalisme Global, yaitu kapitalisme yang menerapkan prinsip-prinsip neoliberalisme (MNC’s, TNC’s, World Bank, IMF, WTO maupun lembaga-lembaga internasional lain yang menjadi agennya),
pihak-pihak yang mendukung kedua kelompok di atas, yaitu kaum pemodal domestik, pejabat, birokrat, politisi dan para ilmuwan/ekonom yang melayani kepentingan kapitalis global di tanah air.
(c) pihak-pihak yang mendukung kedua kelompok di atas, yaitu kaum pemodal domestik, pejabat, birokrat, politisi dan para ilmuwan/ekonom yang melayani kepentingan kapitalis global di tanah air.
PENUTUP
Di tengah dominasi sistem ekonomi neoliberal (kapitalisme global), terminologi keadilan, pemerataan, kesejahteraan dan sejenisnya tidak lagi mendapat tempat. Terminologi tersebut lebih berfungsi sebagai slogan politik ketimbang agenda pekerjaan. Yang akrab di telinga sekaligus sebagai agenda kerja ekonomi adalah seputar pertumbuhan, daya saing, effisiensi dan lain-lain.
Koperasi, yang lebih akrab dengan perpaduan terminologi pertumbuhan dengan pemerataan, daya saing dengan solidaritas, dinilai tidak sesuai dengan semangat ”perdagangan bebas”. Karena itu, banyak yang kemudian berpendapat bahwa koperasi harus bisa mengejar atau bersaing dengan konglomerat. Jelas, ini merupakan kesalahan fatal dalam memandang koperasi, sekaligus merupakan kekalahan ”kubu” ekonomi kerakyatan dalam perang wacana melawan kapitalisme. Koperasi berbeda (berlawanan) dengan konglomerasi, baik bentuk, semangat, jiwa maupun tujuannya. Terlebih lagi, konglomerasi merupakan kapitalisme kroni yang secara substansial menyalahi sendi-sendi dasar kapitalisme itu sendiri.
Dalam pidatonya tanggal 12 Juli 1951, Bung Harra mengatakan bahwa koperasi adalah wadah aparat produksi satu-satunya sebagai jawaban positif atas penolakan kita terhadap kapitalisme / liberalisme dan penolakan kita terhadap Marxisme/Komunisme 7). Bagi Bung Hatta, koperasi adalah program penerapan sistem ekonomi jangka panjang, sehingga waktu itu (sekitar tahun 1950-an) keberadaan kapitalisme masih diperbolehkan, sembari memperkokoh sendi-sendi koperasi. Untuk jangka panjang, Bung Hatta berharap hanya sistem ekonomi koperasi yang berlaku di Indonesia dan tidak ada lagi sistem kapitalisme di negeri ini. Namun, apa yang terjadi setelah 58 tahun Indonesia merdeka ? Sistem Kapitalisme yang diberlakukan, koperasi (sebagai soko guru/sisterm ekonomi) justru ditinggalkan. Kapitalisme mendapat dukungan bukan hanya dalam bentuk intervensi asing, tapi juga berbentuk produk kebijakan politik ekonomi dalam negeri yang memanjakannya. Sebaliknya, koperasi justru dimarginalkan sebatas institusi untuk sekedar ada. Institusionalisasi koperasi tentu berbeda dengan bangunan ekonomi sebagai suatu sistem. Lembaga-lembaga koperasi merupakan bagian ekonomi rakyat, sedang koperasi sebagai bangunan ekonomi tidak lain adalah ekonomi kerakyatan sebagai sistem / bangunan ekonomi.
Dalam kekhawatirannya perihal akan tergusurnya koperasi oleh kapitalisme, Bung Hatta juga pernah menyatakan : ”Kolonialisme secara pemerintah jajahan sudah lenyap, sudah kita runtuhkan. Tetapi kapitalisme kolonial sebagai suatu kekuasaan organisasi ekonomi masih kuat duduknya. Kekuasaannya itu hanya dapat dipatahkan dengan membangun perekonomian rakyat di atas dasar koperasi”. 8)
Agenda kita ke depan bukan hanya memperkuat bangunan (sistem) ekonomi dalam bentuk koperasi (ekonomi kerakyatan), tapi pada saat yang sama juga harus membatasi keserakahan kapitalisme di Indonesia. Untuk agenda yang pertama (membangun ekonomi kerakyatan), kita sudah melaksanakannya dalam bentuk slogan, meski belum pada substansi. Untuk agenda yang ke dua (membatasi keserakahan kapitalisme), baik slogan maupun substansi belum kita mulai.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi:
Revrisond Baswir, “Ekonomi Rakyat dan Koperasi Sebagai Soko Guru Perekonomian Nasional”. Jurnal Ekonomi Kerakyatan, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Jogjakarta
Sritua Arif, “Memperingati Satu Abad Bung Hatta: Mengenang Bung Hatta Bapak Perekonomian Rakyat”.
Munawar Ismail, “PT. SELECTA: Dapatkah Menjadi Alternatif Model Lembaga Ekonomi Kerakyatan?”. Jurnal, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Surabaya.
Sutejo K. Widodo, “Kebijakan Ekonomi Berdikari dan Perkembangan Sektor Perikanan”. Jurnal, Universitas Diponegoro, Semarang.
“Era Baru Kebijakan Fiskal”. Departemen Keuangan.
Asvi Warman Adam, “Soekarno dalam Sejarah Perjalanan Bangsa”.
Ekonomi Kerakyatan dan Otonomi Daerah
Gambar:http://bisnisukm.com/wp-content/uploads/2009/01/potensi-batik-jogja.jpg
Revrisond Baswir, “Ekonomi Rakyat dan Koperasi Sebagai Soko Guru Perekonomian Nasional”. Jurnal Ekonomi Kerakyatan, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Jogjakarta
Sritua Arif, “Memperingati Satu Abad Bung Hatta: Mengenang Bung Hatta Bapak Perekonomian Rakyat”.
Munawar Ismail, “PT. SELECTA: Dapatkah Menjadi Alternatif Model Lembaga Ekonomi Kerakyatan?”. Jurnal, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Surabaya.
Sutejo K. Widodo, “Kebijakan Ekonomi Berdikari dan Perkembangan Sektor Perikanan”. Jurnal, Universitas Diponegoro, Semarang.
“Era Baru Kebijakan Fiskal”. Departemen Keuangan.
Asvi Warman Adam, “Soekarno dalam Sejarah Perjalanan Bangsa”.
Ekonomi Kerakyatan dan Otonomi Daerah
Gambar:http://bisnisukm.com/wp-content/uploads/2009/01/potensi-batik-jogja.jpg
I. Wibowo dan Francis ahono (Ed.), Neoliberalisme, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003
2. Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, SH, KONSOLIDASI NASKAH UUD 1945 SETELAH PERUBAHAN KEEMPAT, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta, Agustus 2002.
3. Kwik Kian Gie, “Analisis Ekonomi Politik Indonesia”, Gramedia, Jakarta, 1994.
4. DR. Mansour Fakih, Bebas Dari Neoliberalisme, Insist Press, Yogyakarta, November 2003.
5. Revrisond Baswir, “Di Bawah Ancaman IMF”, Pustaka Pelajar, Maret 2003